Senin, 22 Agustus 2011

TERKIKISNYA BUDAYA “Cha No Yu”


A.PENDAHULUAN

          Setiap negara yang ada di dunia ini pastilah memiliki budaya yang berbeda satu sama lain, bahkan dalam satu negara saja masih berbeda budaya yang ada di tiap daerah di negara itu. Tidak terkecuali Jepang, kita sama sama mengetahui bahwa Jepang memiliki keanekaragaman budaya yang sangat menarik untuk di cermati. Di Jepang sendiri terdapat berbagai macam budaya yang sangat menarik untuk dibahas, diantaranya budaya kekaisaran Jepang, Samurai, Cha No Yu(tradisi minum teh) dll.
            Akan tetapi kami tidak akan membahas seluruh budaya tersebut, disini kami hanya akan menggaris bawahi(menjelaskan) budaya”Cha No Yu” yang lebih kita kenal dengan sebutan tradisi minum teh, yang sepintas kedengaran nya bagi kita itu hanyalah masalah sepele dan hanya menjadi kebiasaan sehari hari bagi sebagian orang tentunya. Lain halnya bagi penduduk asli Jepang yang mengsakralkan tardisi tersebut dan merupakan suatu hal yang wajib dilakukan oleh masyarakat Jepang.
            Apabila kita melihat lebih jauh tradisi Cha No Yu tersebut memang kita langsung menangkap kesan yang unik, karena untuk melakukannya harus melalui beberapa persiapan yang sangat berbeda dengan cara minum teh oleh kebanyakan orang di dunia ini, karena dari segi peralatannya saja sungguh sangat lain daripada yang lain diantaranya peralatan khusus yang jumlahnya hampir 20 buah, yang terdiri dari : rak(tana), tea container(natsume), cawan mangkuk, tungku(furo), water container(mizusashi) dan beberapa perlengkapan lainnya.
            Penyajiannya pun tidak sembarangan, ini pun harus melalui ritual khusus. Tiga perempuan berbalut Kimono bersimpuh diats tatami(tikar) Jepang, tanpa berbicara sepatah katapun. Mata dua perempuan lainnya tidak terlepas dari mangkuk keramik dan “sang koki”. Masih tak ada satu patah katapun yang terucap “sang koki” meletakkan mangkuk diatas telapak tangannya lalu memutarnya sebanyak 2,5 kali.
            Memang agak rumit untuk melakukannya apalagi bagi orang yang tidak terbiasa dengan hal ini. Tradisi ini tidak hanya memerlukan cara dan peralatan seperti diatas, akan tetapi juga harus didasari oleh prinsip wa, kei, sa, jaku (keselarasan, kesucian, kehidmatan, dan ketenangan).
            Cha No Yu sendiri berasal dari tanah Tiongkok dan masuk ke Jepang pada abad ke 14. konsepnya adalah Mono No Aware (konsep kecintaan terhadap alam). Tradisi ini awalnya hanya untuk menjamu para kaisar dan raja, sehingga hanya kaum bangsawan yang dapat melakukan ritual ini. Oleh karena itu Cha No Yu penuh dengan kelembutan, kepekaan terhadap alam, maka dewasa ini lebih banyak dipelajari oleh kaum perempuan. Padahal pertama kali budaya ini diperkenalkan oleh seorang pria Jepang bernama Sen No Rikyu.
            Kemudian lebih jauh lagi dipaparkan bahwa teh yang dipakai dalam ritual ini adalah teh hijau kental asli Jepang yang rasanya pahit, dan biasanya disajikan bersama kue Yo Kang yang rasanya manis. Tradisi ini telah menjadi fenomena bagi masyarakat Jepang sendiri dan menjadi daya tarik bagi para wisatawan Asing yang ke Jepang untuk mengetahui lebih jauh tentang tradisi masyarakat Jepang.
            Akan tetapi yang terjadi sekarang justru sebaliknya dimana tradisi asli masyarakat Jepang itu sendiri  sudah tidak menjadi fenomena lagi dan seakan akan mulai di tinggalkan oleh masyarakatnya sendiri, entah apa yang mendasari sehingga hal tersebut dapat terjadi kita belum mendapatkan hal yang pasti. Yang jelas ini menjadi tanda tanya bagi rakyat Jepang itu sendiri, mengapa hal yang selama ini menjadi kebanggaan mereka seolah olah punah dimakan oleh usia. Di bagian lain makalah ini kami akan mencoba untuk memaparkan lebih dalam apa yang menjadi penyebab ditinggalkannya tradisi ini.


B . PEMBAHASAN

          Sungguh ironis memang budaya leluhur yang sudah mendarah daging didalam diri setiap rakyat Jepang mulai ditinggalkan begitu saja “kalau tidak mau dikatakan punah”, karena setiap budaya bangsa manapun harus dilestarikan karena itu
 merupakan warisan berharga yang tidak bisa dinilai harganya oleh apapun

            Banyak pihak yang memandang proses terkikisnya budaya tersebut di sebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ; globalisasi, modernisasi dan semakin tidak adanya kesempatan luang untuk melakukan hal-hal yang sifatnya tradisional. Dan ada juga pihak yang memandang bahwa yang menyebabkan budaya dapat dilupakan oleh bangsanya(jepang) dalam halini budaya Cha No Yu, yaitu prosesi untuk Cha No Yu itu sendiri yang sangat ribet dan susah karena harus melalui beberapa proses yang panjang dan memerlukan sejumlah peralatan yang lumayan besar jumlahnya hanya untuk digunakan minum “Teh”.
            Akan tetapi teh yang dimaksud bukan sembarang proses minum teh yang dilakukan oleh kebanyakan orang-orang dan teman-teman pada khususnya yang membutuhkan teh,air,cangkir dan gula. Melainkan suatu kegiatan minum teh yang dilakukan oleh rakyat Jepang dan melalui ritual khusus, dan berbagai macam peralatan yang jumlahnya lumayan banyak, diantaranya tana, natsume, furo, mizusashi dan lain-lain. Inlah yang menyebabkan semakin kurangnya orang Jepang yang melakukan ritual ini.
            Akan tetapi bagi masyarakat Jepang faktor tersebut tidak oleh menjadi suatu alasan untuk meninggalkan warisan leluhur mereka, karena dengan melestarikan budaya leluhurnya maka secara tidak langsung mereka telah memberikan apresiasi yang begitu tinggi dan tak ternilai harganya bagi budaya leluhur Jepang.
            Beberapa sumber juga mengatakan bahwa yang menjadi penyebab mulai ditinggalkan nya budaya Cha No Yu oleh rakyat Jepang itu sendiri adalah melihat fakta sejarah, bahwa awalnya Cha No Yu hanya dilakukan untuk menjamu para Kaisar atau Raja Jepang yang penuh dengan kelembutan. Sehingga para rakyat Jepang mungkin beranggapan bahwa hanya kaum bangsawan yang dapat melakukan ritual ini (Cha No Yu) maka semakin hari budaya ini semakin di tinggalkan oleh orang, karena tidak semua orang Jepang bisa melakukannya, demikian yang dapat kami tangkap dari berbagai pendapat dan sumber

            Apabila rakyat Jepang dapat mengeyampingkan asumsi-asumsi tersebut menurut saya meninggalkan budaya leluhur sendiri tidak perlu terjadi akan tetapi sebagai pewaris asli budaya Cha No Yu harus menyadari bahwa sebagai rakyat Jepang mempunyai kewajiban untuk melestarikan budayanya sendiri.
            Apabila ini benar-benar terjadi di kemudian hari, maka yang akan menerima dampak paling parah adalah Jepang itu sendiri. Dimana dia akan mendapat penilaian tersendiri oleh dunia internasional yang beranggapan bahwa rakyat Jepang itu sendiri tidak dapat menjaga kelestarian budaya nya sendiri yang nota bene merupakan warisan leluhur mereka yang wajib untuk dilestarikan. Dan secara tidak langsung ini juga akan berpengaruh terhadap hubungan politik luar negri Jepang dengan beberapa negara di dunia, karena bisa saja beberapa negara memiliki prinsip yang sangat kuat mengenai suatu budaya.
            Kemudian tradisi ini ada yang menyebutnya dengan nama “Cha Do” sementara ada juga yang menyebutnya “Cha No Yu”, menurut kami perbedaan yang mendasar hanyalah dari segi nama nya saja sedangakan jenis dan artinya sama saja. Karena kita sama-sama mengetahui bahwa dalam suatu negara itu terdapat berbagai macam bahasa sesuai dengan daerah nya meskipun ada yang namanya bahasa nasional, seperti kita di Indonesia satu benda bisa memiliki nama yang bermacam macam. Begitupun yang terjadi di Jepang, jadi menurut kami. Kita tidak usalah memperdebatkan hanya masalah perbedaan nama karena “apalah arti sebuah nama” sedangkan maksud dan tujuannya sama saja.
   
C . PENUTUP

          Budaya Cha No Yu merupakan upacara tradisional rakyat Jepang yakni tradisi minum teh dengan menggunakan peralatan khusus dan menggunakan yukata. Mungkin ini adalah salah satu cara minum teh yang paling unik dan ruwet yang ada di dunia ini karena membutuhkan cara-cara khusus dan peralatan khusus yang
berjumlah cukup banyak.
            Tradisi ini sendiri sudah mulai ditinggalkam oleh rakyat Jepang karena prosesnya yang memakan waktu yang tidak sebentar dan peralatan khusus yang tidak sedikit, dan tidak terlepas oleh faktor sejarah yang mengatakan bahwa tradisi ini dulu hanya dilakukan oleh para bangsawan untuk menjamu para Kaisar atau Raja Jepang, sehingga tidak semua orang dapat melakukannya.
            Dengan demikian kami dapat menyimpulkan bahwa kebudayaan sekental apapun dapat ditinggalkan oleh para pewaris budaya itu sendiri apbila rendahnya pemahaman terhadap budaya itu sendiri dan budaya bangsa manapun di dunia ini merupakan warisan berharga dan patut untuk dilestarikan, sama halnya dengan budaya tradisional Indonesia yang semakin dilupakan oleh bangsanya sendiri.
            Jadi suatu hal yang menarik yang dapat ditarik dari permasalahn tersebut adalah, jangan pernah untuk menyianyiakan warisan budaya anda karena budaya itu adalah suatu hal yang sangat berharga dan tidak ternilai harganya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

BULUKUMBA LOVER'S Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger